MINHAJUL HAQ.... TEMPAT AKU BERJUANG MEMBINA GENERASI MASA DEPAN BERAKHLAQUL KARIMAH

Sunday 2 October 2011

Adab Walimah

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allooh سبحانه وتعالى,
Bahasan kali ini adalah tentang Adab Al Waliimah. Karena selain aqidah kita haruslah ter-refleksikan melalui pernyataan dan sikap kita, maka demikian pula diantara yang harus kita sikapi dalam hidup ini adalah perkara yang praktis, yaitu diantaranya adalah Al Waliimah.
Perkara tersebut bukanlah hal baru, karena Al Waliimah sudah dibahas dalam suatu kitab yang disebut Al ‘Adab Al Islamiyyah. Perlu hal tersebut dikemukakan, karena banyaknya kaum muslimin yang melakukan Waliimah, tetapi terjadi kekeliruan atau kekurangan dalam pelaksanaannya. Maka perlu hal itu dibahas, agar kita bisa menjadi lurus dalam berbagai perkara, apakah itu perkara aqidah, ataupun perkara ibadah, mu’amalah dll-nya.
Al Waliimah, artinya dalam bahasa Arab adalah makanan yang dibuat oleh seseorang untuk dipersilakan dimakan oleh banyak orang (kaum muslimin). Secara bahasa, berasal dari kata:Aulama – Yulimu – Waliimah.
Al Waliimah secara umum berarti setiap apa saja makanan yang disajikan oleh seseorang untuk banyak orang. Karena mungkin kita mengundang lima orang, atau limapuluh atau limaratus orang atau lebih dari itu, maka makanan yang dibuat untuk mereka disebut Al Waliimah.
Namun dalam perkembangannya, kata Al Waliimah itu masyhur hanya untuk acara yang khusus, misalnya dikenal dengan Waliimatul ‘Ursy (Pernikahan). Padahal Al Waliimah yang sesungguhnya banyak macamnya. Karena secara kebiasaan atau adat, manusia membuat makanan untuk saudara-saudaranya itu dalam berbagai jenis urusan, misalnya: Waliimah untuk pernikahan, khitanan, berkenaan dengan safar, dll. Semua itu adalah bagian dalam kategori adat, bukan ibadah.
Sedangkan yang dalam kategori ibadah adalah Al Waliimatul ‘Ursy. Yaitu makanan yang disajikan oleh seseorang yang sedang melakukan pengumuman atas suatu pernikahan. Bukan ‘Aqad Nikaah.
Ada yang perlu dibiasakan dalam menikahkan. Bahwa bila kita melaksanakan suatu pernikahan yang benar dan yang tepat adalah di-‘aqadkan terlebih dahulu. Bisa sehari, tiga hari, atau seminggu, atau sebulan setelah kedua mempelai di-‘aqadkan terlebih dahulu, barulah diadakan Waliimah. Jadi sudah ada serah terima dari wali kepada mempelai laki-laki melalui ‘Aqad Nikaah, sudah ada kalimat zawwajtuka dan ada kalimat qobiltuha. Selesai ‘aqad, barulah diadakan Waliimah. ‘Aqad Nikaah dan Waliimah adalah berbeda, hendaknya dipisahkan acaranya.
Sementara di Indonesia, dua perkara tersebut sering dijadikan satu (rancu). Yang benar adalah: ‘Aqad Nikaah dulu dilaksanakan, lalu barulah Waliimah. Karena fungsinya berbeda. Targetnya pun berbeda.
‘Aqad Nikaah adalah “Tahliilul Harom” (Menghalalkan yang harom). Pintu gerbang untuk seseorang masuk dalam dunia keluarga atau suami dan istri itu diresmikan oleh pintu dan kunci yang disebut dengan ‘Aqduzzawaj atau ‘Aqdunnikaah.
Targetnya adalah jima’ (bersetubuh). Karena yang dimaksud dengan An Nikaah, berasal dari kata “Nakaha – Yankihu – Nikaahan”, maknanya adalah jima’. Target lainnya adalah Al Injaab, maknanya adalah mempunyai keturunan.
Berbeda dengan Waliimah, yang fungsinya adalah agar orang umum tahu bahwa si Fulan dan Fulanah sudah resmi sebagai suami istri. Jadi secara bahasa, Waliimah artinya pengumuman. Targetnya adalah untuk menghilangkan fitnah.
Maka dapat dipahami bahwa ‘Aqad dan Waliimah adalah berbeda. ‘Aqad adalah fardhu ‘ain, yaitu menghalalkan sesuatu yang harom. Wanita adalah harom bagi laki-laki yang bukan mahromnya. Jangankan menyentuh, melihatnya saja harom. Demikian menurut hukum Islam yang benar.
Annadzor ilal mar’atil ajnabiyyah laisat bimahromin laha hukumuhu haroomun” (Melihat kepada wanita yang asing, yang dia bukan mahromnya, maka hukumnya harom).
Mulanya adalah dosa kecil, tetapi kalau dibiarkan maka akan menjadi dosa besar.
Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم pernah menegur kepada shohabat Ali bin Abi Tholibرضي الله عنه, yaitu ketika Ali bin Abi Tholib  رضي الله عنه menolehkan wajahnya melihat seorang wanita, maka oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم muka Ali رضي الله عنه dipalingkannya, dan beliau صلى الله عليه وسلم bersabda:
عَنِ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لِعَلِىٍّ « يَا عَلِىُّ لاَ تُتْبِعِ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ فَإِنَّ لَكَ الأُولَى وَلَيْسَتْ لَكَ الآخِرَةُ »
“Bagimu wahai Ali adalah pandangan pertama dan tidak boleh bagimu pandangan kedua.”(Hadits Riwayat Imaam Abu Daawud no: 2151  dari Ibnu Buraidah dari ayahnya رضي الله عنهما)

Nadzroh al ‘Uula (pandangan pertama) oleh para ‘Ulama dijelaskan adalah pandangan tiba-tiba, secara refleks, tidak disengaja. Misalnya, secara tidak disengaja atau secara refleks seseorang menoleh ke kanan, ternyata di sebelah kanannya ada seorang wanita yang harom untuk dilihatnya, lalu ia ucapkan: Astaghfirullooh. Memalingkan seperti itu disebut Nadzroh al ‘Uula (pandangan tiba-tiba).
Ketika pandangan itu diulangi lagi, karena tidak terkendali dan ia sadar bahwa itu pandangan yang harom, kemudian diperpanjang, maka pandangan itu termasuk dosa, dan dosa itu termasuk dosa kecil. Tetapi jika pandangan itu mengakibatkan perkara yang lebih besar, yaitu menjadi mengkhayalkannya atau merencanakan sesuatu yang keji, maka semua itu akan menjadi dosa besar.
Di masyarakat Indonesia pada umumnya, yang demikian itu tidak dihiraukan; justru dikaburkan oleh adat Barat, yang membolehkan dengan apa yang disebut “Kawin Percobaan”. Oleh karena itu, bagi mereka (orang Barat), malam Minggu atau malam Kebaktian di gereja dipakai sebagai malam untuk Wakuncar (Wajib kunjung pacar). Yang demikian itu adalah harom di dalam Islam, karena bisa dipastikan kegiatan yang seperti itu adalah banyak kerusakannya bagi kaum muslimin. Karena tidak boleh (harom hukumnya) bagi laki-laki dan perempuan yang bukan mahrom dan belum ‘aqad-nikaah, untuk pergi bersama berdua-dua-an.
Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
ابْنَ عَبَّاسٍ يَقُولُ سَمِعْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- يَخْطُبُ يَقُولُ « لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ
Tidak boleh sama sekali ber-kholwat seorang laki-laki dan seorang perempuan, kecuali dengan mahromnya.” (Hadits Riwayat Imaam Muslim no: 3336 dan Imaam Al Bukhoory no: 3006 dari ‘Abdullooh bin Abbas رضي الله عنه)
Sayangnya, banyak kaum muslimin di zaman sekarang ini justru mengikuti adatnya orang Barat, padahal seharusnya mereka mengikuti tuntunan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Oleh karena itu, kami serukan kepada para wali dan para bapak yang sudah beranak dan bercucu agar hendaknya mereka bertaqwa kepada Allooh سبحانه وتعالى untuk menjaga, melindungi dan membentengi dirinya dan keluarganya dari semua kerusakan tersebut. Dan semua itu adalah zina. Karena, dengan membiarkan mereka berbuat perkara-perkara seperti itu, adalah sudah termasuk kategori zina.
Ada suatu Hadits dari Abu Hurairoh رضي الله عنه, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
Seorang anak-cucu Adam pasti berpeluang untuk berbuat zina, tidak mungkin bisa dihindarkan.”
Bagaimana itu bisa terjadi?
Kedua mata melihat, adalah zina mata. Kedua telinga mendengar, maka itu adalah zina telinga. Dan zina tangan adalah memegang, menyentuh apa saja yang tidak halal. Kaki juga berzina, yaitu melangkah ke tempat yang harom, dan hati juga berzina yaitu mengkhayal dan bercita-cita atas sesuatu yang tidak halal baginyaSedangkan kemaluan membenarkan atau mendustakannya.” (Hadits Riwayat Imaam Muslim no: 6925 dan Imaam Al Bukhoory no: 6243)
Upayakan agar anak-anak kita jangan dibiarkan bebas berhubungan dan berkomunikasi dengan lawan jenis yang bukan mahromnya; apalagi di zaman sekarang ini terbukanya peluang zina itu tidak perlu lagi dengan berhadap-hadapan, tapi cukup dengan melalui alat-alat komunikasi seperti handphone, chatting melalui internet, facebook, dsbnya. Bahkan kita tidak bisa mengelak, bahwa koran-koran dan majalah-majalah banyak yang digunakan sebagai media untuk mempublikasikan zina; karena mengumbar gambar-gambar wanita yang tidak tertutup aurotnya. Itu sebetulnya adalah suatu kekejian, yang harusnya kita memberikan kewaspadaan kepada anak-cucu kita; karena semua itu adalah cara iblis untuk memancing hati manusia yang lemah imannya untuk terperosok dan terpancing untuk berbuat zina.
Intinya, kembali kepada pokok bahasan, bahwa menurut Islam sesungguhnya melihat aurot seseorang itu hukumnya adalah harom. Laki-laki, menurut peraturan Allooh سبحانه وتعالى harus menundukkan pandangannya. Demikian pula perempuan, harus menundukkan pandangannya.
Firman Allooh سبحانه وتعالى dalam QS An Nuur (24) ayat 30 :
قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allooh Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.”

Jadi oleh Allooh سبحانه وتعالى kedua-duanya diatur agar mereka menundukkan pandangannya. Tetapi di zaman sekarang, media massa malah mempublikasikan berbagai gambar yang menjadikan pandangan mata menjadi telanjang sehingga satu-sama lain lawan jenis itu saling melihat dan saling memandang tanpa memperhatikan rambu-rambu batasan aurot lagi.
Padahal dalam Hadits Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, jangankan melihat lawan jenis, melihat sesama jenis pun dilarang. Sabda beliau صلى الله عليه وسلم:
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ
Dilarang laki-laki melihat aurot laki-laki. Dilarang perempuan melihat aurot perempuan.” (Hadits Riwayat Imaam Muslim no: 794 dari Abu Saa’id Al Khudry رضي الله عنه)
Maka sesama jenis pun dilarang untuk saling melihat. Apalagi Homo, Lesbian, dstnya, itu adalah dosa besar. Jangankan orang lain, orang terdekat dan satu turunan pun dilarang untuk bercampur. Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ
“Ajarkan anakmu sholat setelah ia berumur tujuh tahun. Pukullah ia kalau sudah berumur sepuluh tahun, tetapi tidak mau sholat. Dan pisahkan mereka dalam tidurnya.” (Hadits Riwayat Imaam Abu Daawud no: 495 dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya رضي الله عنهم)
Maksudnya, kalau sudah berumur sepuluh tahun keatas, anak-anak laki-laki harus dipisahkan tempat tidurnya dengan anak perempuan. Islam demikian ketat untuk memagari, dan untuk menjauhkan terjadinya kerusakan dan zina. Yang demikian ini jarang dikenal oleh kaum muslimin atau tidak dihiraukan oleh kaum muslimin di zaman sekarang.

Maka yang benar adalah lakukan ‘Aqad-Nikaah dulu, dan jangan dijadikan satu antara acara ‘Aqad-Nikaah dengan Waliimah.
Sementara itu, yang sering terjadi di masyarakat kita, adalah malah dalam undangannya sendiri pun sudah dipajang potret kedua calon mempelai dengan cara bersanding, seakan-akan mereka sudah suami-istri saja, padahal mereka belum melaksanakan ‘Aqad-Nikaah sehingga belum lah sah untuk berpose berdua seperti itu. Dan itu hukumnya harom. Kaum muslimin dan muslimat, janganlah membangun atau merintis keluarga anak-cucu kita dengan sesuatu yang harom, karena itu adalah dilarang menurut Syari’at Allooh سبحانه وتعالى.
Setelah ‘Aqad, barulah diumumkan dengan Waliimah, yaitu mengumumkan bahwa keduanya telah menikah dan menjadi suami istri. Targetnya adalah supaya tidak terjadi fitnah dalam masyarakat. Kalau seandainya Syari’at tersebut kita hidupkan, kita tegakkan, maka Islam telah menjaga sedemikian rupa kesucian hati dan kesucian sosial dan bahkan kesucian akhlak dalam masyarakat. Namun sayang, yang demikian itu belum diterapkan dan siapa yang akan menerapkannya terlebih dahulu, kecuali kita yang sudah mengaji ini.
Ada lagi Waliimah yang syar’i, yaitu yang disebut ‘Aqiiqoh. Jika sepasang suami-istri telah dikaruniai anak yang baru lahir, maka hari ke tujuh kelahiran anaknya itu, bila ia mampu, hendaknya ia mengadakan Waliimah, yang kemudian disebut ‘Aqiiqoh. Hukumnya Sunnah Mu’akkadah. Sebagaimana Waliimatul ‘Ursy, hukumnya juga Sunnah Mu’akkadah. Berbeda dengan ‘Aqad Nikaah, yang hukumnya adalah Fardhu ‘Ain.
Jadi semestinya ‘Aqad diselenggarakan terlebih dahulu, lalu Waliimah. Sementara yang terjadi, di masyarakat Indonesia ini adalah Waliimah yang didalamnya ada ‘Aqad. Dan ini salah.
Disamping itu, Waliimah di Indonesia hampir tanpa batasan waktu (kecuali bila diselenggarakan di gedung yang disewa). Padahal yang benar, Waliimah itu waktunya dibatasi, tidak sepanjang hari atau semalam suntuk, melainkan ditentukan waktunya misal dari jam 10.00 sampai jam 12.00 atau pada jam-jam lain yang dibatasi waktunya. Bukan berarti bakhil, tetapi memang demikianlah yang disyari’atkan oleh Islam.
Kalau kita amati, Waliimah di daerah Timur Tengah sana, misalnya Arab Saudi, disana ketika ada Waliimah, makannya seragam dan dalam waktu yang sama. Misalnya diundang Waliimah jam 09.00, maka tepat jam itu para undangan sudah datang berkumpul. Sementara para undangan saling berbincang-bincang, dan kira-kira undangan sudah sebagian besar datang, maka dikeluarkanlah baki atau nampan-nampan. Ada juga yang mengadakan Walimaah dengan sistem resepsi. Tetapi pada umumnya, mereka mengeluarkan hidangan makanan dalam nampan, satu nampan untuk 4 atau 5 orang. Maka bila undangannya 500 orang, maka dikeluarkanlah sekitar 100 nampan. Setelah dikeluarkan rapih semua, setiap 5 orang sudah menghadapi nampan hidangan, maka Shohiibul Bait (si empunya rumah) memberikan aba-aba untuk mempersilakan menyantap hidangan. Maka semua undangan bersama-sama, dalam waktu yang bersamaan, menyantap hidangannya. Selesai bersantap, lalu berbincang-bincang sebentar, kemudian masing-masing undangan berpamitan kepada Shohiibul Bait, pulang. Selesai sudah.
Adab Waliimah
Bila kita akan mengadakan Waliimah, maka ada syarat-syarat yang harus dipenuhi:
1. Berniat dengan ikhlas
Karena Waliimah adalah ibadah, bukan hanya sekedar kebiasaan dalam Islam, karena mengadakan Waliimah itu adalah mengikuti Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Sabda beliau صلى الله عليه وسلم:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ »
Waliimah lah, walau hanya dengan seekor domba.” (Hadits Riwayat Imaam Muslim no: 3557 dan Imaam Al Bukhoory no: 5153 dari Anas bin Maalik رضي الله عنه)
Maka sesuai Hadits tersebut, sebenarnya cukup dengan seekor domba seharga beberapa ratus ribu rupiah. Tidak harus hutang kesana kemari. Yang diundang pun secukupnya saja, jangan sampai membebani diri, sampai berhutang dsbnya.
Dan menurut para ‘Ulama, perintah hadits itu bukanlah wajib, melainkan Sunnah Mu’akkadah. Niat ikhlas berwaliimah dimaksudkan adalah untuk:
a)      Mengumumkan ‘Aqad Nikaah yang sudah dilaksanakan sebelumnya.
b)      Waliimah adalah Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
2. Membuat makanan dalam Waliimah adalah dalam batas kemampuan
Dari Hadits Anas bin Maalik رضي الله عنه, beliau meriwayatkan bahwa:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ مَا أَوْلَمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى شَيْءٍ مِنْ نِسَائِهِ مَا أَوْلَمَ عَلَى زَيْنَبَ أَوْلَمَ بِشَاةٍ
Aku tidak melihat Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم berwaliimah kepada seorang wanita kecuali waliimah beliau kepada Zainab, istrinya, sebab beliau berwaliimah dengan menyembelih seekor domba.” (Hadits riwayat Imaam Al Bukhoory no: 5168 dan Imaam Muslim no: 3576 dari Anas bin Maalik رضي الله عنه)
Jelas bahwa disini Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم mencontohkan bahwa waliimah itu adalah dengan menyembelih seekor domba.
Hadits kedua, beliau, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم ketika menikah dengan Sofiyah رضي الله عنها sebagaimana diriwayatkan oleh Imaam Al Bukhoory dan Imaam Muslim, dari Anas bin Maalik رضي الله عنه, dikatakan bahwa:
وَجَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَلِيمَتَهَا التَّمْرَ وَالأَقِطَ وَالسَّمْنَ
Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم menjadikan Waliimahnya berasal dari Tamr (kurma) dan Aqd (kue dari tepung gandum) dan Samnun (minyak samin).” (Hadits riwayat Imaam Muslim no: 3571 dan Imaam Al Bukhoory no: 5387)
Padahal kalau beliau صلى الله عليه وسلم mau, berwaliimah dengan seratus ekor unta pun bisa, tetapi beliau صلى الله عليه وسلم berwaliimah hanya dengan cara yang sederhana. Yang disebut sederhana adalah dengan seekor domba atau sekedar kurma dan kue-kue.
3. Hendaknya dalam berwaliimah, mengundang semua lapisan masyarakat
Mungkin itu saudara, famili, tetangga, dsbnya.
4. Jangan hanya mengundang orang-orang kaya saja
Diriwayatkan dari Imaam Al Bukhoory dan Imaam Muslim, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ يُدْعَى لَهَا الْأَغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ الْفُقَرَاءُ
Sejahat-jahat makanan adalah makanan waliimah, bila yang diundang hanya orang kaya saja, sedangkan orang fakir miskin tidak diundang.” (Hadits Riwayat Imaam Al Bukhoory no: 5117 dan Imaam Muslim no: 3594 dari Abu Hurairoh رضي الله عنه)

Waliimah yang demikian adalah waliimah yang jahat, bukan waliimah yang baik.
Dalam hadits lainnya disebutkan, waliimah yang jahat adalah waliimah yang mana diundang adalah orang yang tidak suka untuk datang, justru yang tidak diundang adalah orang yang ingin datang.
Maksudnya, orang kaya itu dengan makanan waliimah sudah biasa, sementara bagi orang fakir miskin yang tidak pernah makan enak, sangat ingin menikmati makanan waliimah tersebut.
Apalagi kalau ada orang shoolih, ahli ibadah, tetapi miskin; maka agar bertambah barokahnya dalam waliimah itu seharusnya ia diundang untuk datang.
5. Dalam waliimah tidak boleh berlebih-lebihan
Berlebihan dalam waliimah itu bisa dalam berbagai macam. Mungkin berlebihan dari segi mengundangnya atau berlebihan dalam hal bentuk surat undangannya yang harganya tidak sedikit.
Yang namanya undangan, mendatanginya adalah untuk mengetahui tentang ‘Akad yang sudah berlangsung, bukan karena balas-membalas sumbangan (amplop hadiah)nya. Tidak ada sunnahnya yang seperti itu, karena waliimah dalam Islam tidaklah untuk balas-membalas besarnya sumbangan. Dalam Islam, waliimah dibebankan kepada pihak yang berwaliimah, dan intinya adalah tidak boleh berlebihan dalam waliimah.
Berlebihan dalam jumlah makanannya. Misalnya undangan untuk 10 orang, tetapi membuat makanan untuk 30 orang. Lalu lebihnya atau sisanya, diberikan kepada fakir miskin, yang demikian itu tidak dibenarkan. Bila hendak memberi makanan kepada fakir miskin, hendaknya adalah makanan yang baik, sama dengan yang kita makan bersama.
Intinya, kita tidak boleh Isrof (berlebihan). Dalil tidak boleh Isrof, ada didalam Al Qur’an suratAl A’roof ayat 31:
يَا بَنِي آدَمَ خُذُواْ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ وكُلُواْ وَاشْرَبُواْ وَلاَ تُسْرِفُواْ إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid , makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan . Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.
6. Tidak boleh mengadakan perkara-perkara yang munkar dalam Waliimah
Misalnya adalah musik. Menurut Hadits shohiih riwayat Imaam Al Bukhoory, bahwa musik itu termasuk harom. Juga tidak boleh ada nyanyian-nyanyian yang mengundang dan menggerakkan syahwat. Tidak boleh pula dalam waliimah tersebut bercampur baur antara laki-laki dan perempuan yang tidak ada batasnya. Mana suami, mana istri, semua campur aduk (ikhtilaath). Yang demikian itu tidak boleh. Maka harus dipisah ruangannya. Ada ruangan untuk laki-laki dan ada ruangan untuk perempuan. Demikian pula ketika seorang tamu ingin memanggil istrinya melalui corong, maka panitia Waliimah hendaknya tidak langsung memanggil nama si istri tersebut, tapi seharusnya yang dipanggil adalah nama anaknya, misal: Ibu Halimah dengan nama putranya Sulaiman, maka panitia memanggilnya dengan nama “Ummu Sulaiman”.
Jadi sebenarnya, Islam membatasi dan menutup fitnah sudah sedemikian jauh. Sampai menceritakan tentang kecantikan seorang wanita didepan suami atau anak laki-lakinya, itu tidak diperbolehkan dalam Islam. Demikian pula sebaliknya, seorang suami tidak boleh menceritakan kegagahan seorang laki-laki di depan istri atau anak perempuannya. Itu menurut syar’i, bukan menurut ketetapan manusia. Islam sedemikian tinggi menjaga kesucian dalam bermasyarakat. Sayangnya, kaum muslimin di zaman sekarang, banyak mengabaikan perkara-perkara ini.
7. Dilarang dalam waliimah adanya joget-joget ataupun dansa-dansi
Termasuk misalnya adanya organ tunggal, lalu yang datang berjoget, berdansa dan sebagainya. Yang demikian itu dilarang menurut syar’ie
8. Dilarang dalam waliimah menyuguhkan minuman-minuman yang harom
Misalnya minuman-minuman khamr yang memabukkan, yang demikian itu tidak boleh. Termasuk yang munkar adalah: adanya pajangan atau dekorasi dari lukisan atau patung makhluk yang bernyawa. Ini pun tidak boleh ada dalam waliimah.
Berikutnya yang termasuk munkar adalah: bersandingnya kedua mempelai, dipertontonkan di depan orang banyak, seperti raja dan permaisurinya. Sesuai aturan syar’i, perempuan tidak boleh dibiarkan melihat laki-laki yang bukan mahromnya, sebagaimana laki-laki pun tidak boleh melihat perempuan yang bukan mahromnya. Sedangkan kalau kedua mempelai dipersandingkan di atas panggung, maka semua orang akan melihat keduanya. Yang demikian itu tidaklah syar’ie menurut Syari’at Allooh سبحانه وتعالى. Jadi tidak perlu dipersandingkan, karena semua sudah tahu dan maklum bahwa si Fulan dan Fulanah sudah ‘Akad Nikaah, sudah menjadi suami istri.
Demikian pula tidak boleh Tabarruj dalam waliimah. Tidak boleh mempelai wanitanya diberlakukan adat berhias yang berlebihan seperti diberi parfum, dilarang keluar rumah selama sepekan sebelum waliimah, sama sekali tidak boleh kena sinar matahari dan perlakuan berlebih-lebihan lainnya. Tidak ada acara yang demikian dalam syari’at Islam. Indonesia ini kaya dengan adat-istiadat, maka adat yang boleh dipakai adalah yang memang syar’i. Kalau tidak syar’i, maka adat tersebut tidak boleh dipakai.
Masa waliimah pun tidak boleh sampai berhari-hari, sampai tujuh hari – tujuh malam. Itu tidak boleh. Paling lama waliimah hanya tiga hari. Hari pertama adalah hari yang Sunnah, hari kedua adalah boleh dan hari ketiga adalah makruh dan hari selanjutnya sudah harom. Jadi tidak boleh penyelenggaraan waliimah sampai tujuh hari, itu sudah merupakan kemunkaran dalam waliimah.
Kemunkaran lainnya dalam waliimah adalah dengan mengadakan tontonan yang tidak sesuai dengan aqidah, contohnya: wayang kulit, wayang golek yang merupakan dunia cerita, dunia palsu. Tidak bisa menjadi hujjah. Tontonan wayang kulit, wayang golek atau wayang orang tersebut termasuk bagian munkar dalam waliimah.
Kalau seseorang diundang ke tempat waliimah, hendaknya ia datang. Karena datang di undangan waliimah adalah wajib hukumnya. Hak muslim terhadap muslim yang lain adalah menghadiri undangannya.
Hadits diriwayatkan oleh Imaam Maalik dan Imaam Muslim dari ‘Abdullooh bin ‘Umar رضي الله عنه, bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْوَلِيمَةِ فَلْيَأْتِهَا
“Apabila salah seorang dari kalian diundang untuk waliimah, maka hadirilah.” (Hadits Riwayat Imaam Al Bukhoory no: 5173 dan Imaam Muslim no: 3582)
Berarti itu perintah dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, dan itu adalah ibadah bagi yang menghadirinya.
Dalam hadits lain dari beliau رضي الله عنه juga, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِذَا دُعِىَ أَحَدُكُمْ إِلَى وَلِيمَةِ عُرْسٍ فَلْيُجِبْ
Jika salah seorang dari kalian diundang untuk Waliimatul ‘Ursy (waliimah dalam rangka menikahkan) maka hendaknya ia memenuhi undangan itu.” (Hadits Riwayat Imaam Muslim no: 3584)

Dalam juga sebuah hadits lain dari beliau رضي الله عنه, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ دُعِىَ إِلَى عُرْسٍ أَوْ نَحْوِهِ فَلْيُجِبْ
Jika salah seorang dari kalian diundang oleh saudaranya maka hadirlah, apakah itu undangan untuk Waliimatul ‘Ursy atau yang sejenisnya.” (Hadits Riwayat Imaam Muslim no: 3587)
Dan dalam hadits lain, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ : وَمَنْ تَرَكَ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Orang yang tidak memenuhi undangan waliimah dari saudaranya, maka ia telah bermaksiat kepada Allooh dan bermaksiat kepada Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.” (Hadits Riwayat Imaam Al Bukhoory no: 5117 dan Imaam Muslim no: 3594 dari Abu Hurairoh رضي الله عنه)
Maksudnya, orang yang tidak memenuhi undangan tanpa udzur adalah berdosa.
Tetapi ingat, ada undangan yang tidak boleh dihadiriYaitu, undangan yang syarat-syarat wajib dihadirinya telah jatuh, misalnya: seseorang diundang oleh lebih dari satu undangan dan waktu waliimahnya sama, maka yang wajib dihadiri adalah yang pertama kali (paling dahulu) mengundangnya. Kalau waktu waliimahnya berbeda, maka boleh dihadiri semuanya.
Keduadalam waliimah itu ada maksiatAl Mubahad (pamer status, bermegah-megah) adalah termasuk maksiat dan harom dalam waliimah, maka yang demikian itu tidak boleh dihadiri. Dan adanya berbagai perkara munkar sebagaimana sudah disebutkan diatas, maka gugurlah kewajiban untuk menghadiri undangan yang ada kemunkaran didalamnya tersebut.
Ketiga, adalah adanya udzur syar’i, misalnya karena sakit, atau ada perkara yang lebih wajib untuk dipenuhi, maka undangan waliimah tersebut menjadi tidak wajib dipenuhi. Bukan berarti tidak mau memenuhi undangan, tetapi karena ada udzur syar’i.
Bila sedang shoum sunnah, misalnya shoum Nabi Daud, atau shoum sunnah yang lainnya,lalu diundang waliimah, maka bagaimanakah adabnya?
Dalam Hadits shohiih Imaam Muslim, dari Abu Hurairoh  رضي الله عنه, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِذَا دُعِىَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ فَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيُصَلِّ وَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ
Jika salah seorang dari kalian diundang, maka hadirilah. Jika ia shoum, maka do’akanlah orang yang mengundang tersebut. Jika tidak shoum, maka makanlah.” (Hadits Riwayat Imaam Muslim no: 3593 dari Abu Hurairoh رضي الله عنه)
Dalam hadits lain, diriwayatkan oleh Imaam Muslim, dari Abu Hurairoh رضي الله عنه,  Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
عَنْ جَابِرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِذَا دُعِىَ أَحَدُكُمْ إِلَى طَعَامٍ فَلْيُجِبْ فَإِنْ شَاءَ طَعِمَ وَإِنْ شَاءَ تَرَكَ
Jika salah seorang dari kalian diundang untuk makan (Waliimah), maka hadirilah. Jika ia mau makan, makanlah. Jika ingin meninggalkan, tinggalkanlah.” (Hadits Riwayat Imaam Muslim no: 3591 dari Jabir bin ‘Abdillaah رضي الله عنه)
Dan ada hadits lain, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
ابن المنكدر : يرفعه إلى النبي صلى الله عليه و سلم قال :
من أفضل العمل إدخال السرور على المؤمن
Memberikan kebahagiaan kepada saudaramu yang sekarang sedang bersuka itu adalah termasuk amalan yang paling afdhol (utama).” (Hadits Riwayat Imaam Al Baihaqy no:  7679 dari shohabat Ibnul Munkadir رضي الله عنه, dishohiihkan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albaany didalam Silsilah Hadits Shohiih no: 2291)
Maka menurut para ‘Ulama, jika seseorang sedang shoum lalu diundang ke waliimah, maka ia wajib untuk datang. Lalu hendaknya ia membuat perkiraan, apakah kalau ia tidak makan karena sedang shoum itu menjadikan saudaranya yang mengundang tersebut suka ataukah tidak. Jika sekiranya, yang mengundang menjadi tidak suka, maka batalkanlah shoumnya, lalu makanlah. Tetapi bila yang mengundang tersebut maklum, tidak makanpun tidak mengapa karena dengan kehadirannya saja sudah cukup senang, maka lanjutkan shoumnya dan tidak usah makan.
Ini menunjukkan bahwa Islam selalu memelihara tenggang rasa. Jika saudaranya suka, maka ia suka. Jika saudaranya duka, maka ia ikut berduka. Dan itulah sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dalam ber-ukhuwwah Islamiyyah.
Dibawah ini perkataan para ‘Ulama bahwa jika dalam waliimah terdapat kemunkaran, maka hukumnya adalah tidak wajib untuk menghadiri undangan tersebut:
1.      Imaam Ibnu Abdil Bar رحمه الله dalam kitabnya At Tamahid dan dalam kitabnya Al Mughni, dinukil oleh Imaam Ibnu Quddamah رحمه الله. Kata beliau (Imaam Ibnu Abdil Bar رحمه الله): “Tidak ada perselisihan diantara para ‘Ulama tentang wajibnya menghadiri undangan waliimah jika ia diundang dalam waliimah itu, selama dalam waliimah itu tidak ada laghwun (perkara yang sia-sia).
Jadi hanya perkara yang sia-sia saja, suatu waliimah menjadi tidak wajib untuk dihadiri. Apalagi kalau perkara yang munkar.
Tidak ada perselisihan diantara para ‘Ulama”, berarti sepakat. Kalau sepakat, maka menjadi dalil.
2.      Imaam Ibnu Quddamah Al Maqdishi رحمه الله mengatakan dalam kitabnya Al Mughni: “Jika seorang diantara kalian diundang pada suatu waliimah, sementara dalam waliimah itu terdapat maksiat seperti adanya minuan khamr, atau adanya bunyi seruling atau Al ‘Uud (gitar), atau yang sejenisnya; lalu ia mempunyai kemampuan untuk mengingkari (melarang) kemunkaran itu, maka ia harus hadir dan harus mengingkari (melarang)-nya. Karena dengan demikian, ia melakukan dua perkara yang fardhu, yaitu pertama ia memenuhi undangan saudaranya yang muslim, kedua, ia menghilangkan kemunkaran. Jika ia tidak mampu mengingkari kemunkaran yang ada dalam waliimah itu, maka ia tidak boleh hadir. Jika ia tidak tahu bahwa dalam waliimah itu ada kemunkaran, dan ia kepergok dimana di dalamnya ternyata ada kemunkaran, maka ubahlah kemunkaran itu. Jika ia tidak mampu, maka berpalinglah dan pulanglah.”
Ada hadits riwayat Imaam Abu Daawud رحمه الله, dijelaskan oleh Imaam Al Khoththooby رحمه الله dalam kitab Ma’alimussunaan bahwa :
عَنْ سَفِينَةَ أَبِى عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّ رَجُلاً أَضَافَ عَلِىَّ بْنَ أَبِى طَالِبٍ فَصَنَعَ لَهُ طَعَامًا فَقَالَتْ فَاطِمَةُ لَوْ دَعَوْنَا رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَأَكَلَ مَعَنَا. فَدَعَوْهُ فَجَاءَ فَوَضَعَ يَدَهُ عَلَى عِضَادَتَىِ الْبَابِ فَرَأَى الْقِرَامَ قَدْ ضُرِبَ بِهِ فِى نَاحِيَةِ الْبَيْتِ فَرَجَعَ فَقَالَتْ فَاطِمَةُ لِعَلِىٍّ الْحَقْهُ فَانْظُرْ مَا رَجَعَهُ. فَتَبِعْتُهُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا رَدَّكَ فَقَالَ « إِنَّهُ لَيْسَ لِى أَوْ لِنَبِىٍّ أَنْ يَدْخُلَ بَيْتًا مُزَوَّقًا
Seseorang mengundang Ali bin Abi Tholib رضي الله عنه sebagai tamu, maka dibuatkanlah makan untuk Ali bin Abi Tholib رضي الله عنه, maka Faathimah رضي الله عنها (istrinya) berkata: “Kalau seandainya Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersama kita, maka ia akan makan bersama kita.” Maka Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم lalu diundang juga. Ketika Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم datang dan baru saja memegang pintu rumah itu, terlihat oleh beliau صلى الله عليه وسلم didalam rumah itu ada gendang dan alat musik lainnya, maka beliau صلى الله عليه وسلم langsung pulang.
Maka Faathimah رضي الله عنها berkata kepada suaminya Ali bin Abi Tholib رضي الله عنه: “Ikutilah beliau”. Maka Ali bin Abi Tholib رضي الله عنه langsung mengikuti  Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, tidak jadi makan di tempat waliimah tersebut. Ali bin Abi Tholib رضي الله عنه berkata: “Aku ikuti  dan aku katakan, ‘Ya Rosuulullooh, mengapa engkau pulang?’” Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم menjawab, “Tidak boleh bagiku (bagi seorang Nabi) memasuki rumah yang didalamnya ada alat musik dan ada gambar yang termasuk bagian munkar.” (Hadits Riwayat Imaam Abu Daawud no: 3757 dari Safiinah Abu ‘Abdurrohmaan رضي الله عنه)
Imaam Al Khoththooby رحمه الله menjelaskan hadits tersebut mengandung dalil, bahwa apabila orang diundang dalam waliimah, maka ia harus menghadiri. Tetapi, bila didalam rumah waliimah itu ada hal-hal yang laghwun dan munkar, maka ia tidak boleh menghadiri undangan itu.
Kata Imaam Al Haafidzh Ibnu Hajar Al ‘Asqolaany Asy Syafi’iy رضي الله عنه, dipahami dalam Hadits tersebut bahwa bila didalam rumah waliimah itu ada kemunkaran, maka menyebabkan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم terhalang untuk memasuki rumahnya.
Maka jelaslah bagi kita, bahwa terdapat dalil, jika didalam rumah waliimah ada perkara yang munkar maka waliimah tersebut termasuk yang tidak boleh untuk dihadiri, jika kita tidak mampu untuk mengingkarinya.
Ada perkara-perkara yang muncul pada masyarakat kita, yaitu waliimah didahului dengan meminta fatwa kepada dukun (paranormal) tentang hari dan waktu pelaksanaannya itu yang baik dilaksanakannya di hari apa. Padahal semua hari itu menurut Allooh سبحانه وتعالى adalah baik. Maka janganlah kita mengawali rumahtangga kita atau orang lain dengan perkara yang tidak barokah, seperti datang ke dukun dan sejenisnya itu, apalagi itu tergolong syirik dan kufur kepada Allooh سبحانه وتعالى.
Demikianlah, mudah-mudahan kita dapat melaksanakannya, karena semua yang dijelaskan diatas adalah bagian dari syi’ar Islam yang harus dihidupkan. Meskipun mungkin tidaklah umum, karena yang umum itu bukanlah suatu dalil. Maka hendaknya kita ikuti sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Pertanyaan:
Bagaimana dengan undangan dari orang yang bukan Islam?
Jawaban:
Kalau tetangga kita mengundang, maka ada beberapa kriteria, yaitu bila undangan itu berupa kebiasaan yang bukan merupakan kebiasaan khas dan ajaran dari agama mereka, maka boleh dihadiri. Tetapi, bila undangan itu ada kaitannya dengan adat dan keagamaan mereka, maka tidak boleh untuk hadir didalamnya.
Pertanyaan:
Bagaimana dengan undangan waliimah syukuran pindah rumah baru dan mungkin didalamnya ada do’a yang berkaitan dengan syukuran itu, karena setiap kita mendapatkan nikmat dari Allooh سبحانه وتعالى hendaknya diceritakan. Mohon penjelasan.
Jawaban:
Ayat: “La in syakartum la aziidannakum” dstnya itu, adalah dalil umum. Tidak ada pernyataan khusus tentang waliimah. Sama dengan: “Fa amma bini’mati robbika fahaddits”, itu juga merupakan dalil umum, tidak ada kepastian bahwa itu adalah dalil untuk mengadakan waliimah atau syukuran. Jadi dua ayat tersebut tidak bisa dijadikan landasan untuk sunnahnya atau disyari’atkannya syukuran.
Yang merupakan bagian dari umum adalah: Bersyukur dengan memberi makan kepada orang lain. Sedangkan menurut hadits Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, bahwa yang akan memberi penyelamat kepada kita adalah:
1.      Memberi makan kepada orang lain,
2.      Menebarkan salam,
3.      Sholat malam (Tahajud).
Karena mengajak makan atau memberi makan kepada orang lain adalah Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم karena memang ada kelapangan rizqi, maka waliimah yang demikian itu boleh. Tetapi jangan meyakini bahwa waliimah itu harus diadakan setiapkali mendapat kenikmatan atau rizqi, karena yang demikian ini tidak boleh.
Pertanyaan:
Mohon maaf bila pertanyaan ini diluar tema bahasan. Menanggapi bahwa sebaiknya hari Jum’at itu libur, pernah terjadi kontroversi yang berkepanjangan atanra birokrat dan masyarakat. Kata birokrat, kalau hari Jum’at diliburkan, maka masjid-masjid kantor akan mubadzir, karena banyak kantor yang menyelenggarakan kegiatan keagamaan pada hari Jum’at. Tetapi di satu pihak mengatakan bahwa hari Jum’at adalah hari besar, maka seharusnya libur.
Pertanyaannya Ustadz, apakah ada Hadits Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم yang menyatakan bahwa hari Jum’at adalah hari libur? Sebab dikatakan oleh sementara orang, kalau hari Jum’at menjadi hari libur, dikhawatirkan nanti orang-orang Islam lalu piknik, mengadakan pariwisata dan sebagainya lalu tidak sholat Jum’at, dstnya. Mohon tanggapannya.
Jawaban:
Mengenai nash bahwa hari libur bagi kaum muslimin itu tidak ada. Misalnya: Hai kaum muslimin, liburlah kalian pada hari Jum’at. Tidak ada. Jadi, tidak ada ajaran Islam yang mengatakan untuk libur pada hari Jum’at, atau Sabtu atau Ahad.
Kalau dikhawatirkan bila Jum’at libur, lalu nanti kaum muslimin malah berbuat maksiat dsbnya, maka itu pun sebenarnya juga bukan dalil. Karena memang tidak ada nash yang mengatakan bahwa hari Jum’at adalah hari libur.
Dan hari Jum’at bukan berarti kita tidak boleh punya kegiatan. Justru hari Jum’at adalah untuk ibadah. Kalau ada yang minta diliburkan, maksudnya adalah: Cobalah dalam sepekan itu kita mengurangi cinta dunia. Itu maksudnya. Karena hari Jum’at itu, sejak dari Kamis sore (malam Jum’at) ketika terbenamnya matahari, sampai dengan terbenamnya matahari di Jum’at sore (malam Sabtu), semuanya adalah penuh dengan fadhilah (kebaikan), yang tidak akan dimiliki oleh hari yang lain. Karena hari Jum’at adalah hari ibadah bagi kaum muslimin. Oleh karenanya maka disebut Sayyidul Ayyam. Hari Jum’at adalah hari raya pekanan bagi kaum muslimin, sehingga ada unsur ibadah pada hari tersebut. Bagi kita umumnya libur itu adalah untuk refreshing. Padahal semestinya tidak demikian. Maksudnya minta diliburkan adalah agar kaum muslimin libur dari aktivitas keduniaan, dan menjadikan hari Jum’at itu untuk sepenuhnya beribadah kepada Allooh سبحانه وتعالى.
Pertanyaan:
Bagaimana menikahkan anak perempuan dari hasil zina? Bolehkah dilakukan oleh ayah tirinya? Atau siapakah yang harus menjadi wali?
Jawaban:
Anak yang memang ditakdirkan lahir dari zina, ia tidak punya dosa apa pun dari zinanya itu. Yang berdosa adalah kedua orangtuanya. Maka bila akan dinikahkan, nikahkan saja. Walinya adalah saudara laki-laki dari ibunya. Dialah yang berhak menikahkan.
Pertanyaan:
Bagaimana hukum pacaran?
Jawaban:
Hukum pacaran adalah zina menurut syari’at Allooh سبحانه وتعالى.
Pertanyaan:
Sedikit diluar tema bahasan, bolehkah dalam satu forum pengajian itu laki-laki dan perempuan duduk dalam satu ruangan tanpa dinding pembatas?
Jawaban:
Sebenarnya menurut syar’i, harus diberi hijab (batas, penutup). Masalah hijab sebenarnya bukan saja terbatas pada pakaian. Hijab maksudnya adalah bahwa laki-laki harus dibatasi (diberi batas) dengan perempuan. Jadi dalam majlis, sunnahnya adalah laki-laki terpisah dengan sitaar(pembatas dinding dari kain) dengan perempuan, sehingga tidak terjadi saling berpandangan.
Pertanyaan:
Bolehkah kita menghadiri undangan ‘Aqad Nikaah yang ternyata mempelai wanitanya sudah dalam keadaan hamil?
Jawaban:
Wanita yang hamil karena perbuatan zina tidak boleh dinikahkan baik dengan laki-laki yang menghamilinya ataupun dengan laki-laki lain kecuali bila memenuhi dua syarat:
Pertama. Baik wanita maupun laki-lakinya bertaubat dari perbuatan zinanya.
Karena Allooh سبحانه وتعالى telah mengharamkan menikah dengan wanita atau laki-laki yang berzina. Allooh سبحانه وتعالى berfirman dalam QS. An Nuur ayat 3,
اَلزَّانِيْ لاَ يَنْكِحُ إِلاَّ زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لاَ يَنْكِحُهَا إِلاَّ زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلى الْمُؤْمِنِيْنَ
Artinya: “Laki-laki yang berzina tidak mengawini kecuali perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik, dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.
Syeikh Muhammad bin Shoolih Al-Utsaimiin رحمه الله berkata, “Kita dapat mengambil satu hukum dari ayat ini. Yaitu haromnya menikahi wanita yang berzina dan haromnya menikahi laki-laki yang berzina. Artinya, seseorang tidak boleh menikahi wanita itu dan si laki-laki itu tidak boleh (bagi seseorang) menikahkannya kepada puterinya.”
Apabila seseorang telah mengetahui bahwa pernikahan ini haram dilakukan, namun tetap memaksakannya dan melanggarnya, maka pernikahannya itu tidaklah sah. Dan bila melakukan hubungan (jima’), maka hubungan itu adalah perzinahan. Dan bila terjadi kehamilan, maka anak itu tidak dinasabkan kepada laki-laki tersebut, tetapi dinasabkan kepada ibunya (dalam kata lain, si anak tidak memiliki bapak). Ini tentunya bila mereka mengetahui, bahwa hal itu tidak boleh.
Apabila seseorang menghalalkan pernikahan semacam ini, padahal mengetahui telah diharamkan oleh Allooh سبحانه وتعالى, maka dia dihukumi sebagai orang musyrik. Karena menghalalkan perkara yang diharamkan Allooh سبحانه وتعالى, telah menjadikan dirinya sebagai sekutu bersama Allooh dalam membuat syari’at. Allooh سبحانه وتعالى berfirman dalam QS. Asy Syuuroo ayat 21,
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوْا لَهُمْ مِنَ الدِّيْنِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللهُ
Artinya: “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan (sekutu) selain Allooh yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allooh?

Di dalam ayat ini Allooh سبحانه وتعالى menyatakan orang-orang yang membuat syari’at bagi hamba-hambanya sebagai sekutu. Berarti orang yang menghalalkan nikah dengan wanita pezina sebelum bertaubat adalah orang musyrik. Namun bila sudah bertaubat, maka halal menikahinya, bila syarat yang kedua terpenuhi, yakni:
Kedua.Harus ber-istibra’ (menunggu kosongnya rahim) dengan satu kali haid bila si wanita tidak hamil. Dan bila hamil, maka sampai melahirkan kandungannya.
Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda,
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ « لاَ تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلاَ غَيْرُ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَحِيضَ حَيْضَةً

Artinya: “Tidak boleh digauli yang sedang hamil sampai ia melahirkan, dan (tidak boleh digauli) yang tidak hamil sampai dia beristibra’ dengan satu kali haid.” (Hadits Riwayat Imaam Abu Daawud no: 2159)
Dalam hadits di atas Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم melarang menggauli budak (hasil pembagian) tawanan perang yang sedang hamil sampai melahirkan. Dan yang tidak hamil ditunggu satu kali haid, padahal budak itu sudah menjadi miliknya.
Juga sabda beliau صلى الله عليه وسلم,
لاَ يَحِلُّ ِلامْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ أَنْ يَسْقِيْ مَاءَه ُزَرْعَ غَيْرِهِ
Artinya:
Tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allooh dan hari akhir, dia menuangkan air (maninya) pada persemaian orang lain.” (Hadits Riwayat Imaam Abu Daawud no: 2160 dariRuwaifi’ bin Tsaabit رضي الله عنه)
Mungkin sebagian orang mengatakan anak yang dirahim itu terbentuk dari air mani si laki-laki yang menzinainya dan hendak menikahinya. Maka jawabnya ialah sebagaimana dikatakan Al-Imaam Muhammad Ibnu Ibroohim Aalu Asy syaikh رحمه الله, “Tidak boleh menikahinya hingga dia bertaubat dan selesai dari melahirkan kandungannya. Karena perbedaan dua air (mani), najis dan suci, baik dan buruk, dan karena bedanya status menggauli dari sisi halal dan haram.”
‘Ulama-‘ulama yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Daa’imah mengatakan, “Dan bila dia (laki-laki yang menzinainya itu setelah bertaubat) ingin menikahinya, maka wajib baginya menunggu wanita itu ber-istibra’ dengan satu kali haid sebelum melangsungkan ‘aqad nikaah. Bila ternyata si wanita dalam keadaan hamil, maka tidak boleh melangsungkan ‘Aqad Nikaah dengannya, kecuali setelah melahirkan kandungannya. Sebagai pengamalan hadits Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم yang melarang seseorang menuangkan air (maninya) di persemaian orang lain.
Bila seseorang tetap menikahkan puterinya yang telah berzina tanpa ber-istibra’ terlebih dahulu dengan satu kali haid. Atau sedang hamil tanpa menunggu melahirkan terlebih dahulu, sedangkan dirinya mengetahui bahwa pernikahan seperti itu tidak diperbolehkan. Dan si laki-laki serta si wanita juga mengetahui bahwa hal itu diharomkan sehingga pernikahannya tidak diperbolehkan, maka pernikahannya itu tidaklah sah. Apabila keduanya melakukan hubungan badan maka itu termasuk zina, dan harus bertaubat, kemudian pernikahannya harus diulangi bila telah selesaiistibra’ dengan satu kali haid terhitung dari hubungan badan yang terakhir atau setelah melahirkan.
Demikianlah bahasan kali ini, mudah-mudahan bermanfaat,
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Jakarta, Senin malam, 23 Jumadil Awwal 1427 H – 19 Juni 2006


Sumber : ustadzrofii.wordpress.com

0 komentar:

Post a Comment

Komentar yang membangun ya sob :-)
Email kami www.yanibinjamhari@gmail.com

TERIMAKASIH.....JANGAN BOSAN-BOSAN YACH SOBAT TENGOK BLOGKU, SEMOGA BERMANFAAT BAGI KITA SEMUA