MINHAJUL HAQ.... TEMPAT AKU BERJUANG MEMBINA GENERASI MASA DEPAN BERAKHLAQUL KARIMAH

This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Tuesday 20 March 2012

Seputar Shalat Jamak dan Qashar

Islam adalah Agama yang sesuai dengan fitrah manusia. Maksudnya, Islam adalah agama yang sesuai dengan kondisi dan keterbatasan yang dimiliki oleh manusia. Pada keadaan normal, berlaku hukum ‘azimah (ketat). Dan pada keadaan tidak normal, maka Islam mengakomodirnya dengan rukhsah (keringanan/kemudahan) sehingga syariat tetap dapat ditunaikan.
Sungguh, sebuah hal yang ironis jika hari ini kita tidak tahu akan berbagai macam kemudahan dalam Islam sehingga kita merasakan beratnya menjalankan agama ini. Padahal kemudahan tersebut bahkan mencakup berbagai aspek dalam kehidupan kita, baik itu dalam hal aqidah, ibadah, syariat maupun muamalah. Telah banyak dalil dari al-Qur’an dan As-Sunnah yang menerangkan kepada kita akan hal ini.
Di antaranya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, artinya : “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” (QS. Al Baqarah : 185). Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam juga bersabda : ” Sesungguhnya agama (Islam) itu mudah. Tidaklah seseorang mempersulit (berlebih-lebihan) dalam agamanya kecuali akan terkalahkan (tidak dapat melaksanakannya dengan sempurna). ....” (HR. Bukhari).
Pada kesempatan kali ini, kami akan membahas salah satu di antara berbagai kemudahan dalam agama ini, yakni shalat jama’ dan qashar. Semoga Allah memberikan taufiqNya.
SHALAT JAMA'
Menjama' shalat adalah mengabungkan antara dua shalat (Dhuhur dan Ashar atau Maghrib dan 'Isya') dan dikerjakan dalam waktu salah satunya. Boleh seseorang melakukan jama' taqdim dan jama' ta'khir.[ Lihat Fiqhus Sunnah 1/313-317].
Jama' taqdim adalah menggabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam waktu shalat pertama, yaitu; Dhuhur dan Ashar dikerjakan dalam waktu Dhuhur, Maghrib dan 'Isya' dikerjakan dalam waktu Maghrib. Jama' taqdim harus dilakukan secara berurutan sebagaimana urutan shalat dan tidak boleh terbalik.
Adapun jama' ta'khir adalah menggabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam waktu shalat kedua, yaitu; Dhuhur dan Ashar dikerjakan dalam waktu Ashar, Maghrib dan 'Isya'dikerjakan dalam waktu, Isya', Jama' ta'khir boleh dilakukan secara berurutan dan boleh pula tidak berurutan akan tetapi yang afdhal adalah dilakukan secara berurutan sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. [Lihat Fatawa Muhimmah, Syaikh Bin Baz 93-94, Kitab As-Shalah, Prof.Dr. Abdullah Ath-Thayyar 177].
Menjama' (menggabungkan) shalat boleh dilakukan karena beberapa sebab, di antaranya :
[1]. Safar (Perjalanan).
Dari Anas radhiallahu ‘anhu berkata, adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam apabila akan bepergian sebelum matahari bergeser ke arah barat, beliau menangguhkan shalat dzuhur kemudian (setelah tiba waktu ashar beliau singgah (di suatu tempat), lalu menjama' keduanya dan apabila matahari tergelincir sebelum berangkat, maka beliau shalat dzuhur, kemudian berangkat." (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari Muadz bin Jabal radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pada perang Tabuk apabila akan bepergian sebelum matahari tergelincir bergeser ke arah barat, Rasulullah mengakhirkan shalat dzuhur hingga menjama'nya dengan shalat ashar, beliau mengerjakan keduanya secara jama'. Apabila akan berangkat sebelum maghrib Rasulullah mengakhirkan hingga mengerjakannya dengan shalat isya' yaitu menjama'nya dengan maghrib dan apabila akan berangkat setelah maghrib, Rasulullah menjama' shalat isya dengan shalat maghrib." (HSR. Tirmidzi dan Abu Dawud).
[2]. Hujan.
Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, "Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjama' antara dzuhur dengan ashar dan maghrib dengan isya' di Madinah bukan karena takut dan bukan (pula) karena hujan." (HR. Muslim).
Riwayat di atas menunjukkan bahwa menjama' shalat karena hujan sudah dikenal pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, andaikata tidak demikian tentu tidak bermanfaat menafikan hujan sebagai sebab bolehnya menjama' shalat. Demikian menurut penjelasan Syaikh al-Albani dalam Irwa-ul GhaIil III: 40.
[3]. Kepentingan yang Mendesak.
Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, "Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjama' shalat dzuhur dengan shalat ashar di Madinah bukan karena takut dan bukan (pula) karena safar." Abu Zubair bertutur, "Saya pernah bertanya kepada Sa'id, "Mengapa Rasulullah berbuat demikian itu?", maka jawabnya, "Saya pernah bertanya kepada lbnu Abbas sebagaimana yang engkau tanyakan kepadaku ini, maka jawab Ibnu Abbas, "Rasulullah tidak ingin memberatkan seorangpun dari kalangan ummatnya." (Shahih : Shahihul Jami'us Shaghir no: 1068).
Namun, dalam kondisi di atas, Imam Nawawi rahimahullah berkata : "Sejumlah ulama' berpendapat bolehnya menjama' di waktu muqim karena ada hajat (mendesak) (hukumnya) boleh, asalkan tidak menjadikannya sebagai kebiasaan (Lihat Syarh Muslim, Imam Nawawi 5/219).

Menjama’ Shalat Jum’at dan Shalat Ashar
Adapun menjama’ shalat jum'at dengan ashar, maka hal ini tidak diperbolehkan dengan alasan apapun baik musafir, orang sakit, turun hujan atau ada keperluan dll-, walaupun dia adalah orang yang di perbolehkan menjama' antara Dhuhur dan Ashar.
Hal ini di sebabkan tidak adanya dalil tentang menjama' antara Jum'at dan Ashar, dan yang ada adalah menjama' antara Dhuhur dan Ashar dan antara Maghrib dan Isya'. Jum'at tidak bisa diqiyaskan dengan Dhuhur karena sangat banyak perbedaan antara keduanya. Ibadah harus dengan dasar dan dalil, apabila ada yang mengatakan boleh maka silahkan dia menyebutkan dasar dan dalilnya dan dia tidak akan mendapatkannya karena tidak ada satu dalilpun dalam hal ini.
Jadi kembali kepada hukum asal, yaitu wajib mendirikan shalat pada waktunya masing-masing kecuali apabila ada dalil yang membolehkan untuk menjama’ (menggabungnya) dengan shalat lain. (Lihat Majmu' Fatawa Syaikh Utsaimin 15/ 369-378).
Adapun tentang shalat jumat dalam safar, kebanyakan ulama berpendapat bahwa tidak ada shalat Jum'at bagi musafir, namun apabila musafir tersebut tinggal di suatu daerah yang diadakan shalat Jum'at maka wajib atasnya untuk mengikuti shalat jum'at bersama mereka. [Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/216, Al-Majmu' Syarh Muhadzdzab, Imam Nawawi 4/247-248, lihat pula Majmu' Fatawa Syaikh Utsaimin 15/370].
Dalilnya adalah bahwasanya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam apabila safar (bepergian) tidak shalat Jum'at dalam safarnya, juga ketika Haji Wada' beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melaksanakan shalat Jum'at dan menggantinya dengan shalat Dhuhur yang dijama' (digabung) dengan Ashar [Lihat : Hajjatun Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam Kama Rawaaha Anhu Jabir -radhiallahu anhu, Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani hal 73].
Demikian pula para Khulafa Ar-Rasyidun (empat khalifah) radhiallahu anhum dan para sahabat lainnya radhiallahu anhum serta orang-orang yang setelah mereka apabila safar tidak shalat Jum'at dan menggantinya dengan Dhuhur.[Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/216].

SHALAT QASHAR
Qashar adalah meringkas shalat empat rakaat (Dhuhur, Ashar dan Isya) menjadi dua rakaat.   [Lihat Tafsir Ath-Thabari 4/244, Al Mu'jam Al Washit hal 738].
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, artinya : ”Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar salatmu, jika kamu takut di serang orang-orang kafir" [QS. An-Nisaa': 101].
Dari Ya'la bin Umayyah bahwasanya dia bertanya kepada Umar bin Kaththab radhiallahu anhu tentang ayat : "Jika kamu takut di serang orang-orang kafir", padahal (saat ini) manusia telah aman ? Sahabat Umar radhiallahu anhu menjawab : Aku sempat heran seperti keherananmu itu lalu akupun bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam tentang hal itu dan beliau menjawab : (Qashar itu) adalah sedekah dari Allah kepadamu, maka terimahlah sedekah Allah tersebut. [HR. Muslim, Abu Dawud dll. Lihat Al-jami'li Ahkamil Qur'an, Al- Qurthubi 5/226-227]
Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma berkata : Aku menemani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam safar dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Abu Bakar radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Umar radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Utsman radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat. Dan Allah subhaanahu wa ta'ala telah berfirman :Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu." [QS. Al-Ahzaab : 21]. (HR. Bukhari dan Muslim).

Jarak Safar Untuk Qashar Bagi Musafir
Para ulama telah berbeda pendapat dalam menentukan jarak musafir yang membolehkan untuk mengqashar shalat. Mazhab Hanafi menentukan jaraknya minimal perjalanan tiga hari tiga malam dan tidak mesti perjalanan itu dari pagi sampai sore, tetapi cukup dengan perjalanan dari pagi sampai tergelincir matahari. Sementara jumhur ulama menentukan jarak perjalanan yang membolehkan qashar itu perjalanan selama dua hari atau dua marhalah dengan perjalanan berbeban. Menurut DR. Wahbah az-Zuhaili, jarak perjalanan tersebut ditaksir empat barid atau 16 farsakh atau 48 mil. Satu mil sama dengan 3500 hasta. Ini ditaksir 89 km atau tepatnya 88,704 km.
Sebagian ulama lainnya, seperti Syaikh Nashiruddin Al Albani rahimahullah berkata : Tidak ada batasan jarak tertentu dengan ukuran kilometer atau marahil. Karena ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan safar dalam Al-Qur`an berkaitan dengan qashar shalat ataupun kebolehan berbuka (tidak puasa) di bulan Ramadhan, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan safar secara mutlak, tanpa menetapkan batasannya.
Dalam hal ini, Syaikh Utsaimin rahimahullah berkata : ”Dalam suatu nazham (sya’ir kaidah fiqh) disebutkan : ”Setiap perkara yang timbul dan tak ada ketentuan syara', maka lindungilah dengan ketentuan adat (kebiasaan) suatu tempat ('urf)".
Jadi, setiap itu disebut safar menurut kebiasaan (‘urf) dan menurut pengertian syar’i, berarti itulah safar, baik jaraknya jauh ataupun dekat. Perjalanan tersebut safar menurut kebiasaan yang dikenali di tengah manusia. Dari sisi syar’i memang orang yang menempuhnya bertujuan untuk safar. Karena terkadang kita dapati ada orang yang menempuh jarak jauh bukan untuk safar, seperti kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah : “Terkadang seseorang keluar dari negerinya untuk berburu. Lalu ia tidak mendapatkan buruannya hingga ia terus berjalan mencari-cari sampai akhirnya ia tiba di tempat yang sangat jauh. Ternyata di akhir pencariannya ia telah menempuh jarak yang panjang, ratusan kilometer. Kita menganggap orang ini bukanlah musafir, padahal bila orang yang keluar berniat safar dengan jarak yang kurang daripada yang telah ditempuhnya telah teranggap musafir. Tapi pemburu ini keluar dari negerinya bukan bertujuan safar sehingga ia bukanlah musafir. Berarti yang namanya safar harus menurut ‘urf (adat masyarakat) dan sesuai pengertian syar’i. (Lihat Al-Hawi min Fatawa Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 227)

Batas Wilayah Mengqashar Shalat
Seorang musafir diperbolehkan mengqashar shalatnya apabila telah meninggalkan kampung halamannya sampai dia pulang kembali ke rumahnya. [Lihat Al-Wajiz, Abdul Adhim Al-Khalafi 138]. Syaikh Nashiruddin Al Albani rahimahullah berkata, “Safar itu dimulai dari keluarnya seseorang dari negeri/daerahnya, terhitung dari batas daerahnya.
Berkata Ibnul Mundzir: Aku tidak mengetahui (satu dalilpun) bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam mengqashar dalam safarnya melainkan setelah keluar (meninggalkan) kota Madinah.
Berkata Anas radhiallahu anhu : Aku shalat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallamdi kota Madinah empat raka¡¦at dan di Dzul Hulaifah (luar kota Madinah) dua raka'at" .[HR. Bukhari dan Muslim].

Sampai Kapan Mengqashar Shalat ?
Para ulama berbeda pendapat tentang batasan waktu sampai kapan seseorang dikatakan sebagai musafir dan diperbolehkan meng-qashar (meringkas) shalat. Jumhur (sebagian besar) ulama yang termasuk di dalamnya imam empat berpendapat bahwa ada batasan waktu tertentu. Namun para ulama yang lain diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Muhammad Rasyid Ridha, Syaikh Abdur Rahman As-sa'di, Syaikh Utsaimin dan para ulama lainnya rahimahumullah berpendapat bahwa seorang musafir diperbolehkan untuk meng-qashar shalat selama ia mempunyai niatan untuk kembali ke kampung halamannya walaupun ia berada di perantauannya selama bertahun-tahun. Karena tidak ada satu dalilpun yang sahih dan secara tegas menerangkan tentang batasan waktu dalam masalah ini. Dan pendapat inilah yang rajih (kuat) berdasarkan dalil-dalil yang sangat banyak, di antaranya : Sahabat Ibnu Abbas radhiallahu anhuma meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tinggal di Makkah selama sembilan belas hari meng-qashar shalat. (HR. Bukhari).
Dari dalil ini jelaslah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memberikan batasan waktu tertentu untuk diperbolehkannya mengqashar shalat bagi musafir selama mereka mempunyai niat untuk kembali ke kampung halamannya dan tidak berniat untuk menetap di daerah perantauan tersebut. [Lihat Majmu' Fatawa Syaikh Utsaimin jilid 15, Irwa'ul Ghalil Syaikh Al-Albani jilid 3, Fiqhus Sunnah 1/309-312].

Jama' Dan Sekaligus Qashar
Tidak ada kelaziman antara jama' dan qashar. Musafir disunnahkan mengqashar shalat dan tidak harus menjama', yang afdhal bagi musafir yang telah menyelesaikan perjalanannya dan telah sampai di tujuannya adalah mengqashar saja tanpa menjama' sebagaimana dilakukan Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam ketika berada di Mina pada waktu haji wada', yaitu beliau hanya mengqashar saja tanpa menjama [Lihat Sifat haji Nabi shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam karya Al-Albani]. Dan beliau shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam pernah melakukan jama' sekaligus qashar pada waktu perang Tabuk.[HR. Muslim. Lihat Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/308-309]. Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam selalu melakukan jama' sekaligus qashar apabila dalam perjalanan dan belum sampai tujuan.[Lihat As-Shalah, Prof.Dr. Abdullah Ath-Thayyar 181. Pendapat ini adalah merupakan fatwa para ulama termasuk syaikh Abdul Aziz bin Baz].

Musafir Shalat Di Belakang Muqim
Shalat berjama’ah adalah wajib bagi orang muqim ataupun musafir, apabila seorang musafir shalat di belakang imam yang muqim maka dia mengikuti shalat imam tersebut yaitu empat rakaat, namun apabila dia shalat bersama-sama musafir maka shalatnya diqashar (dua raka'at). Hal ini di dasarkan atas riwayat sahih dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma. Berkata Musa bin Salamah : Suatu ketika kami di Makkah (musafir) bersama Ibnu Abbas, lalu aku bertanya : Kami melakukan shalat empat raka'at apabila bersama kamu (penduduk Mekkah), dan apabila kami kembali ke tempat kami (bersama-sama musafir) maka kami shalat dua raka'at ? Ibnu Abbas radhiallahu anhuma menjawab : Itu adalah sunnahnya Abul Qasim (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”¨ (HSR.Ahmad, Lihat Irwa'ul Ghalil no.571 dan Tamamul Minnah, Syaikh Al-Albani 317).

Musafir Menjadi Imam Orang Muqim
Apabila musafir dijadikan sebagai imam orang-orang muqim dan dia mengqashar shalatnya maka hendaklah orang-orang yang muqim meneruskan shalat mereka (setelah salam) sampai selesai (empat raka'at), namun agar tidak terjadi kebingungan hendaklah imam yang musafir memberi tahu makmumnya bahwa dia hendak  shalat qashar. Hal ini pernah di lakukan Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam ketika berada di Makkah (musafir) dan menjadi imam penduduk Mekkah, beliau shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam berkata: Sempurnakanlah shalatmu (empat raka’at) wahai penduduk Mekkah ! Karena kami adalah musafir. (HR. Abu Dawud). Beliau shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam shalat dua-dua (qashar) dan mereka meneruskan sampai empat raka'at setelah beliau salam. [Lihat Al-Majmu' Syarah Muhadzdzab 4/178 dan Majmu' Fatawa Syaikh Utsaimin 15/269].
Wallahu A’lam.


Sumber: Al-munir.com

Saturday 17 March 2012

Kisah Nyata Seorang Wanita Pengikut Syiah di kota Bandung

Kasus wanita berjilbab dari Wisma Fatimah di Jl. Alex Kawilarang 63 Bandung Jawa Barat yang mengidap penyakit kotor gonorhe (kencing nanah) akibat nikah mut’ah. Seperti dilaporkan oleh LPPI yang berkasnya disampaikan ke Kejaksaan Agung dan seluruh gubernur, mengutip ASA (Assabiqunal Awwalun) edisi 5, 1411H, hal. 44-47 dengan judul “ Pasien Terakhir “,  seperti yang dimuat buku Mengapa Menolak Syi’ah halaman 270-273.
Berikut ini kisah selengkapnya:
Untuk kedua kalinya wanita itu pergi ke dokter Hanung, seorang dokter spesialis kulit dan kelamin dikota Bandung. Sore itu ia datang sambil membawa hasil laboratorium seperti yang diperintahkan dokter dua hari sebelumnya. Sudah beberapa Minggu dia mengeluh merasa sakit pada waktu buang air kecil (drysuria) serta mengeluarkan cairan yang berlebihan dari vagina (vaginal discharge).~
Sore itu suasana di rumah dokter penuh dengan pasien. Seorang anak tampak menangis kesakitan karena luka dikakinya, kayaknya dia menderita Pioderma. Disebelahnya duduk seorang ibu yang sesekali menggaruk badannya karena gatal. Diujung kursi tampak seorang remaja putri melamun, merenungkan acne vulgaris (jerawat) yang ia alami.
Ketika wanita itu datang ia mendapat nomor terakhir. Ditunggunya  satu persatu pasien berobat sampai tiba gilirannya. Ketika gilirannya tiba, dengan mengucapkan salam dia memasuki kamar periksa dokter Hanung. Kamar periksa itu cukup luas dan rapi. Sebuah tempat tidur pasien dengan penutup warna putih. Sebuah meja dokter yang bersih. Dipojok ruang sebuah wastafel untuk mencuci tangan setelah memeriksa pasien serta kotak yang berisi obat-obatan.
Sejenak dokter Hanung menatap pasiennya. Tidak seperti biasa, pasiennya ini adalah seorang wanita berjilbab rapat. Tidak ada yang kelihatan kecuali sepasang mata yang menyinarkan wajah duka. Setelah wawancara sebentar (anamnese) dokter Hanung membuka amplop hasil laboraturium yang dibawa pasiennya. Dokter Hanung terkejut melihat hasil laboraturium. Rasanya adalah hal yang mustahil. Ada rasa tidak percaya terhadap hal itu. Bagaimana mungkin orang berjilbab yang tentu saja menjaga kehormatannya terkena penyakit itu, penyakit yang hanya mengenai orang-orang yang sering berganti-ganti pasangan sexsual.
Dengan wajah tenang dokter Hanung melakukan anamnese lagi secara cermat.
+  “Saudari masih kuliah?”
-   “Masih dok”

+  “Semester berapa?”
-   “Semester tujuh dok!”
+  “Fakultasnya?”
-   “Sospol”
+  “Jurusan komunikasi massa ya?”
Kali ini ganti pasien terakhir itu yang kaget. Dia mengangkat muka dan menatap dokter Hanung dari balik cadarnya.
-   “Kok dokter tahu?”
+  “Aah,….tidak, hanya barangkali saja!”
Pembicaraan antara dokter Hanung dengan pasien terakhirnya itu akhirnya seakan-akan beralih dari masalah penyakit dan melebar kepada persoalan lain yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan masalah penyakit itu.
+  “Saudari memang penduduk Bandung ini atau dari luar kota?
Pasien terakhir itu nampaknya mulai merasa tidak enak dengan pertanyaan dokter yang mulai menyimpang dari masalah-masalah medis itu. Dengan jengkel dia menjawab.
-  “Ada apa sih Dok…..kok tanya macam-macam?”
+  “Aah enggak,……..barangkali saja ada hubungannya dengan penyakit yang  saudari derita!”
Pasien terakhir ini tampaknya semakin jengkel dengan pertanyaan dokter yang kesana-kemari itu. Dengan agak kesal dia menjawab.
-  “Saya dari Pekalongan”
+  “Kost-nya?”

-  “Wisma Fathimah, jalan Alex Kawilarang 63”
+  “Di kampus sering mengikuti kajian Islam yaa”
-  “Ya,..kadang-kadang Dok!”
+  “Sering mengikuti kajian Bang Jalal?”
Sekali lagi pasien terakhir itu menatap dokter Hanung.
-  “Bang Jalal siapa?”
Tanyanya dengan nada agak tinggi.
+  “Tentu saja Jalaluddin Rachmat! Di Bandung siapa lagi Bang Jalal selain dia….kalau        di Yogya ada Bang Jalal Muksin”
-  “Yaa,…….kadang-kadang saja saya ikut”
+  “Di Pekalongan,……(sambil seperti mengingat-ingat) kenal juga dengan Ahmad Baraqba?”
Pasien terakhir itu tampak semakin jengkel dengan pertanyaan-pertanyaan dokter yang semakin tidak mengarah itu. Tetapi justru dokter Hanung manggut-manggut dengan keterkejutan pasien terakhirnya. Dia menduga bahwa penelitian penyakit pasiennya itu hampir selesai. Akhirnya dengan suara yang penuh dengan tekanan dokter Hanung berkata.
-  “Begini saudari, saya minta maaf atas pertanyaan-pertanyaan saya yang ngelantur tadi, sekarang tolong jawab pertanyaan saya dengan jujur demi untuk therapi penyakit yang saudari derita,…………..”
Sekarang ganti pasien terakhir itu yang mengangkat muka mendengar perkataan dokter Hanung. Dia seakan terbengong dengan pertanyaan apa yang akan dilontarkan oleh dokter yang memeriksanya kali ini.
+  “Sebenarnya saya amat terkejut dengan penyakit yang saudari derita, rasanya tidak mungkin seorang ukhti mengidap penyakit seperti ini”
-  “Sakit apa dok?”
Pasien terakhir itu memotong kalimat dokter Hanung yang belum selesai dengan amat Penasaran.
+  “Melihat keluhan yang anda rasakan serta hasil laboraturium semuanya menyokong diagnosis gonorhe, penyakit yang disebabkan hubungan seksual”
Seperti disambar geledek perempuan berjilbab biru dan berhijab itu, pasien terakhir dokter Hanung sore itu berteriak,
-  “Tidak mungkin!!!”
Dia lantas terduduk dikursi lemah seakan tak berdaya, mendengar keterangan dokter Hanung. Pandangan matanya kosong seakan kehilangan harapan dan bahkan seperti tidak punya semangat hidup lagi. Sementara itu pembantu dokter Hanung yang biasa mendaftar pasien yang akan berobat tampak mondar-mandir seperti ingin tahu apa yang terjadi. Tidak seperti biasanya dokter Hanung memeriksa pasien begitu lama seperti sore ini. Barangkali karena dia pasien terakhir sehingga merasa tidak terlalu tergesa-gesa maka pemeriksaannya berjalan agak lama. Tetapi kemudian dia terkejut mendengar jeritan pasien terakhir itu sehingga ia merasa ingin tahu apa yang terjadi.
Dokter Hanung dengan pengalamannya selama praktek tidak terlalu kaget dengan reaksi pasien terakhirnya sore itu. Hanya yang dia tidak habis pikir itu kenapa perempuan berjilbab rapat itu mengidap penyakit yang biasa menjangkit perempuan-perempuan rusak. Sudah dua pasien dia temukan akhir-akhir ini yang mengidap penyakit yang sama dan uniknya sama-sama mengenakan busana muslimah. Hanya yang pertama dahulu tidak mengenakan hijab penutup muka seperti pasien yang terakhirnya sore itu. Dulu pasien yang pernah mengidap penyakit yang seperti itu juga menggunakan pakaian muslimah, ketika didesak akhirnya dia mengatakan bahwa dirinya biasa kawin mut’ah.
Pasiennya yang dahulu itu telah terlibat jauh dengan pola pikir dan gerakan Syi’ah yang ada di Bandung ini. Dari pengalaman itu timbul pikirannya menanyakan macam-macam hal mengenai tokoh-tokoh Syi’ah yang pernah dia kenal di kota Kembang ini dan juga kebetulan mempunyai seorang teman dari Pekalongan yang menceritakan perkembangan gerakan syi’ah di Pekalongan. Beliau bermaksud untuk menyingkap tabir yang menyelimuti rahasia perempuan yang ada didepannya sore itu.
+  “Bagaimana saudari… penyakit yang anda derita ini tidak mengenai kecuali orang-orang yang biasa berganti-ganti pasangan seks. Rasanya ini tidak mungkin terjadi pada seorang muslimah seperti anda. Kalau itu masa lalu anda baiklah saya memahami dan semoga dapat sembuh, bertaubatlah kepada Allah,….atau mungkin ada kemungkinan yang lain,…?”
Pertanyaan dokter Hanung itu telah membuat pasien terakhirnya mengangkat muka sejenak, lalu menunduk lagi seperti tidak memiliki cukup kekuatan lagi untuk berkata-kata. Dokter Hanung dengan sabar menanti jawaban pasien terakhirnya sore itu.
Beliau beranjak dari kursi memanggil pembantunya agar mengemasi peralatan untuk segera tutup setelah selesai menangani pasien terakhirnya itu.
-  “Saya tidak percaya dengan perkataan dokter tentang penyakit saya !” Katanya terbata-bata
+  “Terserah saudari,…….tetapi toh anda tidak dapat memungkiri kenyataan yang anda sandang-kan?”

-  “Tetapi bagaimana mungkin mengidap penyakit laknat tersebut sedangkan saya selalu berada didalam suasana hidup yang taat kepada hukum Allah?”
+  “Sayapun berprasangka baik demikian terhadap diri anda,….tetapi kenyataan yang anda hadapi itu tidak dapat dipungkiri?”
Sejenak dokter dan pasien itu terdiam. Ruang periksa itu sepi. Kemudian terdengar suara dari pintu yang dibuka pembantu dokter yang mengemasi barang-barang peralatan administrasi pendaftaran pasien. Pembantu dokter itu lantas keluar lagi dengan wajah penuh tanda tanya mengetahui dokter Hanung yang menunggui pasiennya itu.
+  “Cobalah introspeksi diri lagi, barangkali ada yang salah,…….. sebab secara medis tidak mungkin seseorang mengidap penyakit ini kecuali dari sebab tersebut”
-  “Tidak dokter,…….selama ini saya benar-benar hidup secara baik menurut tuntunan syari’at Islam,…..saya tetap tidak percaya dengan analisa dokter”
Dokter Hanung mengerutkan keningnya mendengar jawaban pasiennya. Dia tidak merasa sakit hati dengan perkataan pasiennya yang berulang kali mengatakan tidak percaya dengan analisisnya. Untuk apa marah kepada orang sakit. Paling juga hanya menambah parah penyakitnya saja, dan lagi analisanya toh tidak menjadi salah hanya karena disalahkan oleh pasiennya. Dengan penuh kearifan dokter itu bertanya lagi,……..
+  “Barangkali anda biasa kawin mut’ah??
Pasien terakhir itu mengangkat muka,
-  “Iya dokter! Apa maksud dokter”?
+  “Itu kan berarti anda sering kali ganti pasangan seks secara bebas!

-   “Lho,… tapi itukan benar menurut syari’at Islam dok! Pasien itu membela diri.
+   “Ooo,…Jadi begitu,…kalau dari tadi anda mengatakan begitu saya tidak bersusah payah mengungkapkan penyakit anda. Tegasnya anda ini pengikut ajaran Syi’ah yang bebas berganti-ganti pasangan mut’ah semau anda. Ya itulah petualangan seks yang anda lakukan. Hentikan itu kalau anda ingin selamat”.
-  “Bagaimana dokter ini, saya kan hidup secara benar menurut syari’at Islam sesuai dengan keyakinan saya, dokter malah melarang saya dengan dalih-dalih medis”
Sampai disini dokter Hanung terdiam. Sepasang giginya terkatup rapat dan dari wajahnya terpancar kemarahan yang sangat terhadap perkataan pasiennya yang tidak mempunyai aturan itu. Kemudian keluarlah perkataan yang berat penuh tekanan.
+  “Terserah apa kata saudari membela diri,… anda lanjutkan petualangan seks anda, dengan resiko anda akan berkubang dengan penyakit kelamin yang sangat mengerikan itu, dan sangat boleh jadi pada suatu tingkat nanti anda akan mengidap penyakit AIDS yang sangat mengerikan itu,…atau anda hentikan dan bertaubat kepada Allah dari mengikuti ajaran bejat itu kalau anda menghendaki kesembuhan”.
-  “Ma..maaf, Dok, saya telah membuat dokter tersinggung!”
Dokter Hanung hanya mengangguk menjawab perkataan pasiennya yang terbata-bata itu.
+  “Begini saudari,…tidak ada gunanya resep saya berikan kepada anda kalau toh tidak berhenti dari praktek kehidupan yang selama ini anda jalani. Dan semua dokter yang anda datangi pasti akan bersikap sama,… sebab itu terserah kepada saudari. Saya tidak bersedia memberikan resep kalau toh anda tidak mau berhenti”.
-  “Ba…baik , Dok, …Insya Allah akan saya hentikan!”
Dokter Hanung segera menuliskan resep untuk pasien terakhir itu, kemudian menyodorkan kepadanya.
-  “Berapa Dok?”
+  “Tak usahlah,….saya sudah amat bersyukur kalau anda mau menghentikan cara hidup binatang itu dan kembali kepada cara hidup yang benar menurut tuntunan dari Rosulullah. Saya relakan itu untuk membeli resep saja”.
Pasien terakhir dokter Hanung itu tersipu-sipu mendengar jawaban dokter Hanung
-   “Terima kasih Dok,…….permisi”
Perempuan itu kembali melangkah satu-satu dipelataran rumah Dokter Hanung. Ia berjalan keluar teras dekat bougenvil biru yang seakan menyatu dengan warna jilbabnya. Sampai digerbang dia menoleh sekali lagi ke teras, kemudian hilang ditelan keramaian kota Bandung yang telah mulai temaran disore itu
( sumber : Syiahindonesia.com
Membela Sunnah, Menolak Syiah)

Tuesday 6 March 2012

lima hak sorang muslim atas muslim yang lain

Alloh ta'ala telah menggambarkan bahwa kehidupan dalam agama islam penuh itu dengan keindahan, kedamaian serta kasih sayang yang terpancar darinya. tidak ada satu perkarapundalam kehidupan ini melain telah ada tuntunannya didalam agama islam ini. diantaranya adalah hak seorang muslim atas muslim yang lain. dan kita harus sadar bahwa seorang muslim dengan yang muslim yang lain adalam bersaudara. Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
“Sesungguhnya kaum mukminin itu adalah bersaudara.” (QS. Al-Hujurat: 10)
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى المسلمِ خَمْسٌ: رَدُّ السَّلامِ، وَعِيادَةُ الْمَرِيْضِ، وَاتِّباعُ الْجَنائِزِ، وَإِجابَةُ الدَّعْوَةِ، وَتَشْمِيْتُ الْعاطِسِ
“Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada lima: Menjawab salam, menjenguk yang sakit, mengantar jenazah, memenuhi undangan, dan mendoakan yang bersin.” (HR. Al-Bukhari no. 1240 dan Muslim no. 2162)

Ada lima hak seorang muslim terhadap muslim yang lain yang harus dilaksanakan.
pertama: Menjawab Salam
hukum mengucapkan salam adalah sunah, sedangkan menjawabnya adalah wajib. dan ini adalah hak seorang muslim yang mengucapkan salam. ia menantikan hak dari saudaranya yaitu jawaban salam. sungguh dianggap berdosa karena mengabaikan salam dari saudaranya.
Kedua : Menjenguk saudara muslim yang sakit
senang dan bahagia akan didapatkan oleh seoraang yang sakit dikala saudara-saudaranya menjenguk dirinya. rasa perhatian yang dicurahkan adalah pendorong kesembuhan baginya.sungguh pahala yang teramat besar yang Alloh berikan bagi siapa saja dari hamba-hambanya yang menjenguk saudara-saudaranya yang sakit yaitu taman surga.Rasululloh bersabda yang artinya: "sesungguhnya seorang muslim yang menjenguk saudaranya sesama muslim, maka ia masih tetap berada di taman surga, sehingga ia kembali (pulang)." (HR. Muslim, Ahmad dan Tirmidzi).
Ketiga : Mengantarkan jenazah
Kematian adalah musibah dan ujian bagi keluarga sang mayit. Maka sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan bagi seorang muslim yang mengetahui bahwa saudaranya tertimpa musibah kematian, yaitu menjenguk dan mengantarkan jazad sang mayit ke penguburannya, karna ini adalah sang mayit.
Keempat : Memenuhi undangan seorang muslim
Hukum asal memenuhi undangan dari seorang muslim adalah wajib. namun kewajiban ini akan menjadi gugur bila ada satu sebab dari beberapa sebab yang bertentangan dengan syari'at islam atau ketidak mampuan yang diundang. sebab-sebab itu diantaranya adalah :
1. tempat yang digunakan adalah tempat bermaksiat dan penuh dengan campur baur antara laki-laki dan perempuan tanpa ada hijab (penghalang).
2. harta yang diperoleh untuk acaranya adalah dari hasil yang diharamkan.
3. jarak yang amat jauh untuk ditempuh oleh seorang yang diundang untuk menghadiri undangan, sehingga membuatnya kesulitan untuk datang.
4. undangan yang hanya mengkhususkan bagi sang kaya saja dan tidak mengundang sang miskin.
Kelima : Mendoakan yang bersin
bila ada saudara muslim kita yang bersin kemudian ia mengucapkan "Alhamdulillah" maka kita harus mendoakannya dengan kebaikan, yang sebagaimana Rosululloh ajarkan "yarhamukalloh". apapun bila seseorang bersin kemudian ia tidak mengucapkan "Alhamdulillah, maka kita tidak dianjurkan untuk mendoakannya.
wallohu a'lam bisshowab

TERIMAKASIH.....JANGAN BOSAN-BOSAN YACH SOBAT TENGOK BLOGKU, SEMOGA BERMANFAAT BAGI KITA SEMUA